Senin, 16 November 2015

“NASIB” JAMSOS -DRIVER GOJEK
oleh
Salamah Nur Aini
8111414171

Klaten Jawa Tengah

Di tahun 2015 ini kita diperkenalkan dengan si hijau Gojek, yaitu ojek yang berbasis  panggilan ojek secara online melalui smartphone.  sebelumnya mulai populer awal tahun 2015, padahal gojek sendiri sudah lahir sejak tahun 2011.  Fenomena kemunculan gojek memang dapat di bilang sangat pesat, sehingga terjadi ketidakwajaran sebuah PT yang dalam waktu singkat dapat dengan cepat dapat mensejahterakan pekerja maupun pelanggan, namun saat ini fenomena ketidakwajaran itu justru di anggap mematikan sektor  pendapatan ojek pangkalan. Mereka tidak siap dengan konsekuensi akan adanya pesaing yang lebih  kreatif dan inovatif.
Namun, dalam kiprahnya Gojek tidak terlepas dari beberapa problematika baik dari internal maupun eksternal. Dari sisi internal masih kurangnya keterbukaan di bagian perjanjian tentang jaminan sosial bagi para pekerja/driver , setelah itu status hukum yang masih abu-abu walaupun sudah berbentuk PT, pihak Gojek belum secara terbuka menyatakan landasan hukum operasionalnya. Gubenur DKI Jakarta , Ahok juga bingung . Karena itu Nadiem Kariem yang merupakan pendiri Gojek berharap juga ada payung hukum bagi Gojek sendiri demi kelangsungan Gojek kedepan agar terlindungi oleh hukum apabila terjadi hal-hal yang yang tidak diinginkan yang bersifat melawan hukum.
Dirilis dari penelitian CNN Indonesia bahwa dilihat dalam,  Keputusan Menteri Nomor 35 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, tidak disebutkan adanya sepeda motor sebagai moda transportasi massal di Indonesia. Sepeda motor hanya dapat digunakan sebagai kendaraan pengangkut barang sesuai isi peraturan lain, yaitu Pasal 10 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.   Gojek diketahui telah mengantongi SIUP dan mendaftarkan perusahaannya sehingga memiliki kewajiban membayar pajak kepada pemerintah sejak awal tahun ini.
Melihat belum adanya regulasi mengenai keberadaan ojek sebagai sarana transportasi massal, Ketua Fraksi NasDem di DPRD Bestari Barus pun menuntut Pemprov DKI Jakarta untuk bersikap tegas terhadap Gojek maupun ojek lain di ibu kota. Menurutnya, izin operasional Gojek maupun perusahaan penyedia jasa ojek lain harus segera diatur sebelum menimbulkan masalah yang lebih besar dimasa mendatang                           
               Kemudian, dari sisi eksternal masih belum terselesainya masalah kontra sosial antara driver Gojek dengan tukang ojek pangkalan, terbukti dengan masih ditemukannya beberapa kasus tentang perselisihan tersebut, seperti penikaman antar driver karena berebut penumpang, penghadangan yang dilakukan oleh tukang ojek pangkalan dan masih banyak kasus lainnya. Gojek dinilai mematikan sektor ojek pangkalan , namun dari survey di lapangan yang dilakukan oleh beberapa orang yang secara langsung menggunakan layanan Jasa Gojek, sangat terbantu apalagi dengan paket jaug dekat tetap harganya 10 ribu asalkan tidak lebih dari 25 km.Di tambah lagi dengan inovasi gojek terbaru yaitu layanan antar makanan dan paket, kemudian yang terpenting mudahnya akses cara mendapatkan ojek yang bisa dilakukan melalui aplikasi di smartphone, yang pasti efisien dan efektif tersebut tercapai. Sedang, bila dibandingkan tukang ojek tradisional/ pangkalan dikeluhkan tentang tarifnya yang begitu mahal padahal menempuh jarak yang tidak terlalu jauh.
Kesenjangan tersebut sebenarnya dikarenakan sistem pengaturan strategi dan manajemen dari masing-masing ojek, PT Gojek memang sangat tepat dan cermat dalam menggunakan peluang yang ada dibarengi dengan strategi yang baik, sehingga menjadi suatu sistem pengaturan gojek melalaui media online, kemanan yang diberikan dari segi perlengkapan jaket, masker, helm, penutup kepala. Sedang, ojek pangkalan lebih menggunakan ego nya dalam berebut penumpang walupun tidak semua tukang ojek seperti itu.Kurangnya komunikasi antara driver gojek dan ojek konvensional sebagai salah satu faktor adanya perselisihan tersebut, ini sekaligus menjadi tugas dan PR pemerintah bagaimana mengatur hubungan antara Gojek dan Ojek konvensional , agar Gojek yang juga memberi andil dalam pengurai kemacetan dan pengangguran eksis disamping juga tetap menjaga kesejahteraan ojek konveensional dalam mencapai kehidupan yang layak.
Bila ditinjau dari hukum ketenagakerjaan yang tertulis dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan , layaknya hubungan pekerja dan pengusaha yang mempunyai tujuan saling menyejaterakan dan melindungi kebutuhan dasar hidup layak. Lalu, bagaimana sistem seperti apa yang diterapkan oleh CEO sekaligus pendiri Nadiem Kariem? apakah sesuai dengan UU Ketenagakerjaan ?menjadi  tanda tanya besar tentang sistem peraturan yang harus dijalankan oleh pihak Gojek sebagai pengusaha terhadap pekerjanya seperti perjanjian kerjanya , sistem upah, dan jaminan sosial.
Dari perjanjian kerja ,Gojek memang berdiri dengan membawa PT dengan pembuatan SIUP dan surat izin legal lainnya. Sebelum mengetahui bagaimana perjanjian kerja antara PT Gojek dengan calon driver, dikutip dari caracekterupdate.com ada beberapa persyaratan dan tahapan menjadi driver Gojek, Untuk pesyaratan daftar Gojek sama dengan recruitmen pekerjaan lain,pelamar membawa fotokopi SIM, STNK, dan Kartu Keluarga. Selanjutnya akan ada wawancara dan pengecekan kesehatan terutama kesehatan mata, dan daftar riwayat hidup pelamar yang benar-benar dipertimbangkan. Jika wawancara lolos, pelamar bisa langsung bisa mengikuti trainning safety riding, penggunan smartphone aplikasi Gojek,dan cara melayani pelanggan yang baik. Kemudian,  pada akhir seleksi untuk yang lolos akan langsung menandatangani kontrak kerja. Selanjutnya bisa mengambil jaket dan masker gojek.
Dilihat dari cara mendaftar hingga diterimanya driver Gojek, dan dengan penandantangan kontrak maka perjanjian tersebut telah memenuhi syarat perjanjian kerja pasal 51 UUK dengan cara tertulis, sehingga dengan adanya kontrak tertulis maka syarat formil ( Pasal 54 ) dan syarat materil ( Pasal 53 ) juga terpenuhi.kontrak tersebut juga di anggap sah apabila sesuai denga pesyaratan syarat sah nya perjanjian di Pasal 52 ayat 1 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu; kesepakatan kedua belah pihak, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan, pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Jika ditinjau dari ciri-ciri perjanjian yang dilakukan antara pengusaha dengan driver Gojek.
Sistem upah dalam Gojek dengan cara bagi hasil, tidak menerapkan sistem gaji pokok. Semua dibayar dengan bagi hasil perolehan keuntungan dengan prosentase 80% untuk driver dan 20% untuk Gojek, itu sudah sesuai perjanjian. Sekilas memang sangat menjanjikan karena begitu besarnya bagian yang akan menjadi gajinya, naamun apakah sudah diperhitungkan tentang biaya-biaya diluar tanggung jawab Gojek. Yaitu biaya pemeliharaan motor, dan biaya tak terduga lainnya. Disini Gojek hanya sebagai penyedia layanan perantara antara driver dengan pelanggan.Sehingga Gojek menerima komisi 20% dari jasa penyedia peratara tersebut. Untuk saat ini memang gaji yang didapatkan para pekerja cukup banyak mungkin selain strategi yang struktural dan teratur juga dipengaruhi oleh jumlah driver yang masih dalam persebaran yang wajar atau seimbang dengan permintaan jasa layanan oleh pelanggan. Tetapi, untuk tantangan kedepaan apakah jumlah diver akan tetap ? seiring laju pertumbuhan ekonomi penduduk dan persaingan ekonomi dunia yang semakin tinggi sangat besar kemungkinan jumlah driver akan terus bertambah, sehingga persaaingan aantar driver pun juga ikut semakin ketat. Lambat laun jika permintaan jasa layanan yang tidak seimbang dengan jumlah driver maka akan berpotensi berkurangnya pendapatan per driver, dengan melihat tantangan tersebut maka pihak Gojek perlu melakukan persiapan inovasi dari sekarang baik dari segi pelayanan, biaya, dan tentunya kepastian hukum.
Perjanjian kerja dan sistem upah yang diterapkan saat ini memang sudah cukup menyejahterakan pekerja, namun bagimana dengan jangka panjangnya?bagaimana jaminan sosial bagi pekerja / driver yang pada dasarnya merupaakn program pemerintah dalam hubungannya dengan filosofi tujuan bangsa indonesia dengan mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dari mulai tanggal 1 Januari 2014 kepersertaan BPJS sudah mulai digalakkan dari Penerima Bantuan Iuran (PBI), Jaminan Kesehatan, anggota TNI/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan dan anggota keluarganya, dan Anggota Polri/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Polri dan anggota keluarganya,  hingga di target  pada tanggal 1 Januari 2009 seluruh warga Indonesia dapat menjadi peserta. Pekerja Gojek juga merupakan pekerja yang sudah selayaknya hak-hak nya terlndungi yaitu dengan dengan program jaminan sosial BPJS ketenagakerjaan dan/atau BPJS Kesehatan, jadi perusahaan seharusnya juga memperhatikan jaminan sosial pekerjanya di masa depan. Pentingnya jaminan sosial bagi pekerja yaitu besarnya resiko yang harus dijalani driver Gojek, terutama kecelakaan kerja, jaminan kematian, dan jaminan kesehatan.
Gojek saat ini memang marak sedang diperbincangkan diberbagai kalangan baik menengah maupun kalangan atas sekalipun, begitu banyak yang menyoroti sistem keja Gojek, seakan-akan aneh bila ojek mendapat gaji yang jauh lebih tinggi dari seorang PNS, sehingga fenomena-fenomena para pengusaha kecil rela meninggalkan usahanya demi bergabung di Perusahaan Gojek. Tidak dipungkiri bila dilihat secara kasat mata Gojek memang pekerjaan yang tidak terlalu berat namun bergaji banyak. Bahkan, banyak para sarjana yang ikut melamar saat perekrutan gojek, tidak hanya itu ibu-ibu rrumah tangga pun juga terlihat saat pendaftaran driver Gojek. Saat ini moda trasportasi ojek modern tidak hanya Gojek, telah muncul beberapa nama perusahaan seperti blue jack, grabbike. Namun, setiap kelebihan tidak terlepas dari kekurangan yaitu; kurangnya payung hukum yang menjamin Gojek tersebut dan jaminan sosial. Perusahann membuat perjanjian dengan kontrak, namun tidak ada masa percobaan hanya trainning, dan jangka  waktunya juga tidak ditentukan/dibatasi. Dalam penerapan perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha Gojek juga masih dalam kedilemaan yaitu jenis perjanjian seperti apakah yang ada dalam kesepakatan perusahaan Gojek. PKWT/PKWTT?? 
DARI DEMOKRASI HINGGA MONEY POLITIC
oleh
Salamah Nur Aini
8111414171
Bentakkan, Klaten Selatan, Klaten, Jawa Tengah
ABSTRAK
Negara demokrasi adalah kedaulatan rakyat yang kedudukannya diwakili yang dipilih melalalui pemilihan umum, dengan kekuasaan seseorang dapat dengan leluasa menjalankan politik nya. Berbeda dengan para rakyat kecil yang berharap pada uang agar bisa melanjutkan kelangsungan hidupnya, berbeda pula para pengusaha yang sangat senang bila dapat bekerja dengan partai politik. Kadang ketiga elemen tersebut ; parpol. Pengusaha, dan rakyat saling bekerjasama , karena dirasa akan menimbulkan simbiosis mutualisme.

Disini, yang menjadi korban adalah rakyat kecil, mereka hanya tergiur sesaat.  Money Politik hanya akan menciderai hak-hak rakyat. KKN pun juga akan muncul dimana-mana. Politik memang sebenarnya bisa sebagai wadah aspirasi mayarakat, namun Politik juga merupakan wadah para oknum haus kekuasaan. Menurut sejarah sejak adanya kekuasaan dan kebutuhan masyarakat akan uang tinggi disitulah akan muncul indikator Money politik,seperti saat ini yang membuat perkembangannya semakin modern, dan menjadi hal biasa dalam lingkaran masyarakat, dan pada akhirnya akan menjai sebuah budaya,

Kata Kunci : Money Politik,Politik, Masyarakat.


BAB 1
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Selepas  Indonesia menjadi negara yang merdeka yang diakui oleh De Jure  dan  De Facto .Indonesia menjadi negara yang berdaulat banyak sistem pemerintahan yang telah di rencanakan dan diselenggarakan demi tercapainya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, salah satunya yaitu menyelenggarakan Negara demokrasi yang dituangkan dalam sistem pemerintahan yang demokratis pemegang kekuasaan haruslah bertanggungjawab kepada rakyat dan kekuasaan diperoleh melalui sistem pemilihan umum yang bebas. Sejarah pemilu sendiri dimulai pada tahun 1955 dan diadakan pemilu sebanyak dua kali yaitu pertama pada tanggal 29 Sepetember 1955 memilih DPR ,dan tanggal 15 Desember memilih anggota konstituante. Saat itu partai politik juga mulai bermunculan dengan berbagai kepentingannya masing-masing. Sebenarnya partai politik berfungsi sebagai suatu kelompok-kelompok yang memperjruangkan cita-cita bangsa,mengembangkan demokrasi dan mweujudkan kesejahteraan.
Namun, seiring perkembangan masa pemerintahan,  dinamika politik itu mulai terlihat,  seolah-olah suatu partau mulai melakukan istilah peribahasa “sambil menyerang minum air”, maksudnya selain menjalankan fungsi khusunya sebagai partai politik yang selalu menyatakan konsep sadar hak dan kewajiban, perekat persatuan, penyerap & penyalur aspirasi , parpol juga menjadikan kepentingan – kepentingan internal sebagai fokus utama agar dapat berkuasa di struktur pemerintahan, itu semua tidak salah. Akan menjadi salah jika dalam mencapai puncak kepentingan itu, menggunakan cara-cara yang kurang sesuai dengan  nilai-nilai luhur budaya bangsa, Pancasila dan kode etik dalam partai maupun Pemilu.
Cara-cara yang marak digunakan oleh para penggiat dan anggota partai demi menggapai puncak kekuasaan adalah dengan Money Politic. Lebih memprihatinkan apabila Money Politic  tersebut nantinya akan mempengaruhi bahkan menciptakan budaya baru di negara demokrasi. Seperti istilah “ada duit, pasti nyoblos”  , slogan tersebut mengisyaratkan bahwa saat ini akan nyoblos/ memilih apabila ada uangnya. Sungguh tragis jika Money Politic  ini akan menjadi kebudayaan di negara demokrasi. Oleh karena itu, dalam artikel ini akan dibahas bagaimana sistematika atau proses adanya Money Politic dikalangan Masyarakat, dan modus-modus seperti apalagi yang dilakukan oleh para calon-calon dalam meraup suara saat pemilu. Berbagai upaya pemerintah telah banyak dilakukan, dan hasilnya justru  cara dan strategi Money Politic  itu sendiri justru semakin modern dan lebih kompleks.
A.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah dan penyebab adanya praktek Money Politic Di Indonesia ?
2.      Bagaimanakah perkembangan praktek Money Politic di Lapangan ?

BAB 2 PEMBAHASAN
            Berawal dari negara demokrasi muncul beberapa spekulasi tentang kebebasan rakyat atau lebih dikenal dengan kedaulatan rakyat . Rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi negara, namun sekaligus diperlukan pula wakil yang berfungsi menjalankan segala fungsi yang ada pemerintahan, karena tidak mungkin bahwa seluruh rakyat mengatur pemerintahan secara bersamaan. Dalam proses pemilihannya saat ini digunakan sistem Pemilu. Rakyat yang memilih sedang para calon berusaha menunjukkan visi misi dan janji-janji nya yang dipayungi organisasi politik yang disebut partai.
            Setiap organisasi politik maupun organisasi masayarakat biasanya mempunyai ciri khas aliran tertentu yang memngkinkan rakyat menentukan pilihannya. Dari aspirasi masyrakat inilah mereka dapat memainkan peran penting sebagai sarana komunikasi politik dengan pemerintah agar aspirasi rakyat tersebut dapat dijadikan kebijaksanaan umum (public policy). Organisasi sosial politik adalah kelompok terorganisasiyang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama.[1]
            Melalui orientasi tersebut akan ada potensi timbulnya ambisi kekuasaan yang tinggi, bahkan akan menjurus pada perbuatan-perbuatan yang melawan hukum dan kode etik. Hingga saat ini praktek-prektek yang marak terjadi di masayarakat adalah Politik Uang  (Money Politic). Untuk lebih mengetahui bagaimana sejarah, sistem, dan contoh kasus secara nyata dilapangan tentang  Money Politik
Money Politic atau Politik Uang atau Politik Perut adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya untuk memilih maupun pada saat pemilihan umum. Pembelian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.[2]
Menurut pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yuzril Ihza Mahendra, definisi Money Politic  sangat jelas, yakni mempengaruhi massa pemilu dengan imbalan materi. Yusril mengatakan, sebagaimana yang dikutip oleh Indra Ismawan[3]. Materi merupakan benda berwujud, bila dilihat dalam lapangan secara fakta materi dapat berupa uang, sembako, alat-alat yang sekiranya merupakan kebutuhan oleh sasaran atau mastarakat.Kadang sering  dijumpai strategi politik yang terdapat sembako maupun alat-alat tersebut ada yang sengaja ditempeli atribut parati yang bersangkutan. Dasar hukum dari adanya Politik uang adalah Pasal 73 ayat 3 Undang-Undang No.3 Tahun 1999 berbunyi : “Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu”.[4]

SEJARAH MONEY POLITIC        
Penggunaan uang sebagai alat meraih tujuan kekuasaan politik sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Ideologi yang membenarkan tindakan tersebut sudah ada sejak era Nicolo Machiaveli[5]
Pada dasarnya politik adalah bekerjs dengan tehnik-tehnik yang kreatif, maka seseorang memiliki keleluasaan untuk mempengaruhi dan mamaksakan kepentingan pribadi dan kelompoknya pada pihak lain melalui berbagai sarana, termasuk uang Uang merupakan faktor urgen yang berguna sebagai ukuran jiwa kharismatik seorang pemimpin. Sejak saat itu uang merupakan diidentikan dengan kekuasaan seperti kata pepatah “Tidak hanya terkenal, tapi dompet juga harus Tebal” .Karena kekuasaan diidentikan dengan uang/ masyarakat melihat sorang wakil rakyat haruslah berduit.
Kemudian, pada saat itulah uang diidentikan dengan kekuasaan, yang didalamnya terdapat politik-politik yang dibangun untuk kepentingan kelompok dan golongan.Politik uang seperti itu, terkait pula dengan kondisi kekinian zaman dimana uang menjadi simbol dari berbagai alat transaksi. Uang sebagai alat tukar pada akhirnya dipertukarkan dengan apa saja, material maupun immaterial termasuk untuk memperoleh kekuasaan dalam struuktur politik( Koirudin, 2005:98)[6]. Semua itu berawal dari massa transisi negara Indoensia yang telah merdeka maka kedaulatan pun ikut di tangan rakyat atau menjadi negara demokrasi, yang mana praktek politik uang yang mula-mula hanya berlanjt dalam ruang yang sempit , seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia akan uang semakin tinggi maka politik uang tersebut juga hanya dibiarkan tumbuh subur dan menjamur di kalangan masyarakat saat datangnya ajang pemilu. Mereka tidak merasa bahwa politik uang merupakan hal yang dilarang, selama tidak ada unsur kekerasan paksaan ,atau intimidasi dari puhak-pihak tertentu
Praktek Money Politics  di Indonesia mulai merebak sejak pemerintahan Orde Baru meskipun bukan berarti sebelumnya tidak ada. Dari mulai tingkatan partai hingga di pelosok desa-desa kecil (seperti pemilihan Lurah). Bahkan dari kalangan petani, rakyat kecil, hingga penjabat, polisi, akademisi, konglomerat, dan tokoh agama sekalipun juga ikut andil dalam berkembangnya Money Politic di negara ini.sehingga tidak heran jika sangat sulit dalam mengangani dan menindak praktek politik seperti ini, karena sangat rapat pergerakan yang tersebaar diseluruh kalangan lapisan masyarakat, apalagi jika birokrat sudah ikut dalam prktek ini, maka seakan-akan jalan Money Politic lurus tiada penghalang.

PERKEMBANGAN MONEY POLITIK DI LAPANGAN
Dilihat dari tujuan dan deliknya Money Politik dapat dikategorikan sebagai tindakan Korupsi. Korupsi sendiri merupakan sebuah tindakan yang sangat merugikan Negara, baik dari segi materil daan moral bangsa. Undang-Undang republik Indonesia N0.20 Tahun 2011 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Republik Indonesia No.30 Tahun 2002 Tentaang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyebutkan Indonesia termasuk 5 besar Negara  terkorup di dunia[7].
Tentunya dengan adanya penjaminan Undang-Undang tersebut suatu pemebrian uang dengan maksud agar meimilih salah satu calon baik dalam bentuk apapun itu sudah jelas tidak diperbolehkan . Namun, mereka para pemeran Money Politik  tetap gencar melakukannya tidak lain hanya demi kekuasaan. Praktek seperti ini gencar dilakukan saat pemilihan kepala daerah (pilkada), pilgub, dan pilpres, seorang kandidat akan melakukan pemmberian uang pada dua elemen, yaitu penyerahan uang kepada partai politik agar dapat di rekomendasikan sebagai calon dan mengusungnya dalam pemilu agar peluang secara adminsitratif dan strategi menang lebih besar, kemudian elemen yang kedua yaitu uang dibagi-bagikan kepada rakyat agar menang jumlah suara dalam daerah pemilihannya.
Cara-cara sepertu memang dipercayai menjadi cara terampuh dalam meraup suara yang cukup banyak. Hubungan antara pelaku Money Politic (Calon yang akan dipilih) dan sasaran  Money Politic  (masyarakat). Para pelaku melakuaknnya karena dirasa masyarakat membutuhkan dan sudah menjadi kebutuhan saat datangnya pemilu agar memilih, dan masyarakat pun ada yang memberikan respon baik atas pemberian pelaku, sehingga kedua pihak saling mneguntungkan dan pada akhirnya akan menjadi kebudayaan yang lama-kelamaan akan mengarah pada kebutuhan yang harus ada dalam pemilu.
Sebenarnya menurut beberapa pendapat ahli dan peneliti dilapangan bahwa dalam pemilihan umum ada beberapa praktik tindakan money politic misalnya ;
a.       Distribusi sumbangan, baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu,
Didalam Undang-Undang nomor 30 tahun 2003 mengenai masalah dana
kampanye telah ditentukan massalah dana kampanye .
b.      Pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yang ilegal.
Kegiatan ini disebut juga disebut “sumbangan paksa” dari pengusaha untuk memerikan pemasukan bagi partai, dengan sedikit ancaman menyangkut kelanjutan kerja dan usaha. Disinilah budaya Money Politic  itu terbentuk lagi , karena dalam pandangan parpol, Pengusaha dianggap sebagai sasaran empuk untuk untuk mendapatkan dana segar untuk menunjang kemenagan .
c.       Penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai politik tertentu.[8]
Banyak kasus Money Politik yang sebanarnya sangat jelas sekali terlihat namun hanya beberapa saja yang berhasil di tindak dan dikenai sanksi salah satu contoh adalah kasus yang ditemukan oleh Bawaslu yaitu politik uang di berbagai daerah yaitu salah satu contoh di Bali, Ketua Bawaslu Bali Ketut Rudia di Denpasar, Jumat (11/4/2014), mengatakan kasus money politic terjadi pada detik-detik terakhir menjelang pencoblosan dan bahkan sampai terjadi di hari pencoblosan. Modus politik uang tersebut, jelas dia, adalah para calon anggota legislatif (caleg) atau tim sukses mendatangi rumah warga dan mengiming-imingi uang.Besarannya bervariasi mulai dari Rp40 ribu hingga Rp150 ribu. Para caleg dan tim suksesnya membagikan contoh kertas suara dan sekaligus kartu nama serta uangnya.[9]
Dari kasus di atas, memang cukup menggiurkan uang yang diberikan
Sehingga, secara konkrit bila dilihat  bila dihitung-hitung banyak sekali, apalagi strategi yang cukup ampuh lagi yaitu serangan fajar yang dilakukan detik-detik menjelang hari pencoblosan bisa dalam bentuk sembako maupun barang perbotan rumah tangga. kerugian yang ditimbulkan dari adanya Money Politik , baik dalam masalah keuangan dan moral bangsa. Serta dampak yang akan terjadi dalam jangka pendek maupun panjang. Dampak jangka pendeknya adalah timbulnya pencideraan kepada hak-hak warga negara.jika dilihat dampak Money Politics  d
alam jangka pendek memang sangat begitu ringan bahkan dirasa tidak terlalu  berat. Namun, yang paling membahayakan yaitu akibat yang ditimbulkan dalam jangka panjang, timbulnya budaya suap-menyuap, akan melahirkan pemimpin yang tidak berpegang pada visi misi nya, justru para pemimpin nya akan menjadi pemimpin yang material yang ujungnya akan melakukan KKN. Hamdan Zoelva (2013) menyebutkan bahwa political corruption sendiri melibatkan pembentuk undang-undang (raja, diktator, legislatif) yang berperan sebagai pembentuk peraturan dan standar-standar yang diberlakukan negara, para pejabat menerima suap atau dana untuk kepentingan politik dan pribadi mereka dan memberikan bantuan kepada pendukung mereka dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih besar[10]
            Potensi KKN yang disebabkan karena Money Politic tidak hanya terjadi saat pasca Pemilu namun juga Pra Pemilu, dimana kondisi ini dipicu dengan besaarnya biaya kampanye yang mendorong para calon harus mengeluarkan dana yang cukupp besar, bila dana tersebut saangaat memberatkan calon, besaar kemungkinan melalui sistem yang telah terorganisasi terselubung KKN demi mendapa kan dana untuk biaya pencalonan dan kampanye nya.
            Dari situlah isu transparansi dana kampanye menjadi sangat penting. Tuntutan transparansi dana kampanye didasari atas tujuan menghindari: (1) manipulasi dana publik untuk membiayai kampanye, (2) mencegah dominasi satu atau dua partai politik atau calon yang memiliki dana yang besar dalam menyampaikan informasi perihal visi, misi dan program kepada pemilih sehingga mendorong terselenggaranya kompetisi yang fair dengan mengupayakan terwujudnya kesempatan yang sama antar kandidat, (3) Menghindari tunduknya pemenang pemilu kepada kepentingan donator, jangan sampai penyandang dana kampanye mendikte kebijakan yang akan diambil oleh partai politik yang memenangkan pemilihan umum dan calon terpilih dalam pengambilan keputusan di lembaga legislatif dan eksekutif.[11]
Adanya anggapan suatu kegiatan pemilu mengandung unsur politik memang sedikit ada kekosongan penafsiran atau kerancun norma, dimana penjelasan dan ruangl lingkup penafsiran politik uang dirasa kurang efektif, misalnya Money Politic dalam Pasal 73 ayat 1 UU Pilkada yang menegaskan “calon dan/atau tim kampanye ketika menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih” dalam pasal tersebut belum disebutkan mempengruhi pemilih untuk memilih satu orang atau sebagi tim kampanye? Lalu di sisi lain dalam Pasal 26 PKPU Tentang Kampanye Pilkada masih membuka celah pemberian ‘materi lainnya’ berwujud bahan kampanye pada dasarnya bukanlah bagian dari perbuatan yang dilarang sebagai perbuatan money politic. Kontradiksinya tersimpul dalam pertanyaan; apakah pemberian atau pembagian bahan kampanye kepada pemilih bukan Money Politic
            Masalah tentang Money politic  memang begitu kompleks, namun yang terpenting bagaimana cara kita mengurangi bahkan kalau bisa mencegah sedini mungkin, sebagai mahasiswa dapat kita melakukan pengabdian masyarakat dengan cara sosialisasi dan pembimbingan dengan pendekatan ke desa-desa untuk memberitahukan bagaimana dampak Money Politik itu untuk masa depan warga negara Indonesia, dan apakah rela jika 5 tahun kedepan hanya dibayar dengan amplop berisi 25.000 rupiah saja, sedang dalam masa 5 tahun warga hanya dirugikan karena adanya KKN.
Setelah itu pendekatan kepada anak-anak melalui pendidikan dasar disekolah tentang dilarangnya dan bahayanya Money Politics. Sehingga, dari dini mereka sudah di doktrin untuk peka terhadap praktek-praktek seperti itu. selanjutnya dari segi kebijakan , kita sebagai mahasiswa harus kritis dalam menyikapi regulasi tentang pemilu yang dinilai masih multitafsir daan masih berpotensi menimbulkan celah bagi politikus maupun pengusaha untuk dapat bergerak bebas melakukan praktek itu. Oleh karenanya, masih ada harapan untuk menuju negara demokrasi yang demokratis tanpa KKN, menyelenggarakan pemilu yang bersih dari taktis tak terpuji, dan mencapai kedaulatan yang hakiki.

BAB 3
SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN
Money Politic  memang identik dengan Pemilu. Keberadaan praktek Money Politic itu sendiri menurut seorang filsafat politik yang memperkenalkan ilmu politik baru. Ia dikenal sebagai penganggas totaliarianisme modern dengan salah satu doktrinya; tujuan menghalalkan cara. Dikenal pula sebgai guru penipuan dan penghianatan politik dan inkarnasi dari kekuatan licik dan brutal dalam dunia politik. Bahkan namanya merupakan sinonim dengan kejahatan. Sehingga, adanya indikator politik uang itu saat adanya kekuaasaan yang diperebutkan bersamaan dengan kebutuhan akan uang yang semakin meningkatkan.
Dalam praktek di lapangan Politik Uang telah banyak perluasan cara-cara yang semakin modern, mengikuti perkembangan masyarakat. Banyak faktor yang menyebabkan merebaknya Politik Uang di berbagai lapisan masyarakat dari akyat kecil hingga kalangan pejabat dan aparatur. Adanya indikasi-indikasi di atas seolah –olah mengaskan bahwa semua berakar dari demokrasi. Namun, menurut saya itu bukan masalah sistem demokrasi nya ,tetapi kurang adanya penegasan yang di tuangkan dalam aturan, cenderung peraturan dan undang-undang tentan PKPU masih multitafsir, sehingga dijadikan celah para oknum-oknum partai yang haus akan kekuakasaan.

SARAN
Indonesia adalah negara hukum, yang menjunjung tegaknya hukum dan keadilan , peduli terhadaap hak-hak individu. Segala pokok permasalahan dalam pemilu menyadarkan kita betaapaa pentingnya sebuah kejujuran yang dituangkan dalam Asas –Asas Pemilu “LUBERJURDIL”, semua itu akan tercapai jika seluruh bangsa Indonesia sadar akan persatuan dan kesatuan, semua elemen masyarakat berkewajiban untuk menjalankan fungsinya masing-masing dengan berdaasar pada kepentingan bersama. Kesinambungan antar penegak hukum juga penting melihat perkembangan masyarakat yang semakin maju, regulasi-regulasi tentang Pemilu juga ikut disesuaikan agar meminimalisir terjadinya penyalahgunaan konstitusi yang nantinya malah dijadikan pembenar bagi pelaku-pelaku jual beli kekuaasaan.
Sejatinya, dampak yang ditimbulkan Money Politik saangat kompleks, untuk itulah dibutuhakn pencegahan dan perbaikan sistem dari sisi pendidikan, sosial, agama, politik, hukum, dan ekonomi. Karena bidang-bidang tersebut yang menjadi lapangan bagi oknum Money Politic  untuk leluasa bermain-main  strategi yang pada akhirnya akan mengancurkan masa depan bangsa kita.

DAFTAR PUSTAKA
Budianto, 2000, Dasar-Dasar Ilmu tata Negara, Jakarta., Penerbit Erlangga.
Ismawan Indra , 1999, Pengaruh Uang Dalam Pemilu,Yogyakarta Penerbit Media
            Presindo.

Rosyad. Sabilal. 2009. Praktek Money Politic Dalam Pemilu Legislatif di
Kabupaten Pekalongan 2009 BAB 1._____

Sumartini L, 2004, Money Politics dalam Pemilu, Jakarta, Badan Kehakiman
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
Surbakti Ramlan, 2008,Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, Perekayasaan
            Sistem Pemilu  untuk Tata  Politik Demokratis,  Jakarta,  Partnership for
            Governanc Reform Indonesia .
Undang-Undang  Republik indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang republik Indonesia Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana korupsi, Trinity, 2007.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomo 3 Tahun 1999 tentang PEMILU,LN 
1999/TLN 3810, Republik Indonesia, 1999.
Zoelva Hamdan. 2013. Memberantas  Electoral Corruption, dalam jurnal
dan Demokrasi.


Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang, dikases 10 november pukul 21.35 WIB.





[1]  Budianto, Dasar-Dasar Ilmu tata Negara, Jakarta, Penerbit Erlangga, 2000.hlm. 17.
[2]  Wikipedia, https://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang, dikases 10 november  21.35
[3] Indra Ismawan , Pengaruh Uang Dalam Pemilu, Yogyakarta,  Penerbit Media Presindo,    
  1999. hlm .4.
[4] Undang-Undang Republik Indonesia Nomo 3 Tahun 1999 tentang PEMILU,LN  
   1999/TLN 3810, Republik Indonesia, 1999.
[5]  Sabilal Rosyad. 2009. Praktek Money Politic Dalam Pemilu Legislatif di
    Kabupaten Pekalongan 2009 BAB 1.___hlm 5
[6]  Ibid, hlm 3
[7] Undang-Undang  Republik indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang
  Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang republik Indonesia
  Nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Tindak Pidana korupsi, Trinity, 2007
[8] L.Sumartini,S.H, Money Politics dalam Pemilu, Jakarta Badan Kehakiman
   Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, 2004. hlm
   148-149.
[10] Hamdan Zoelva. 2013. Memberantas Electoral Corruption, dalam jurnal Pemilu dan Demokrasi

[11] Ramlan Surbakti, Didik Supriyanto, dan Topo Santoso, Perekayasaan Sistem
    Pemilu  untuk Tata  Politik Demokratis, Partnership for Governance Reform    
    Indonesia, Jakarta, 2008, hlm. 124.